Mari kuceritakan tentang lelaki bertubuh kurus kecil namun bertenaga luar biasa. dia mampu melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dalam sehari. Mulai mengangkut sampah, menjadi kuli banguan hingga menggali tanah pemakaman ketika di kampung sini ada orang mati. Sudah banyak track record yang kudengar tentang dia dari orang orang di sekitar sini. Banyak sisi buruknya ketimbang sisi baiknya.
Hari ini dua kali dia datang ke warung. Wara wiri sembari melafalkan ayat ayat suci. Suaranya merdu dan fasih yang tak dibuat buat.
Hari ini dua kali dia datang ke warung. Wara wiri sembari melafalkan ayat ayat suci. Suaranya merdu dan fasih yang tak dibuat buat.
Untuk satu orang ini, aku punya pengecualian. Tak pernah lagi kutanya apakah dia mau ngopi. Kalian tahu kenapa?...ini hanya soal mubadzir. Sering dia pesan kopi tapi setelah kopi ready ditinggal pergi. Katanya nanti dia akan kembali. Tapi ujung ujungnya bisa 24 jam dia tak kembali. Esok hari dia akan menanyakan kopi yang dipesannya kemarin.Menjengkelkan?...pasti.
Menghadapi orang seperti ini perlu kesabaran extra, aku menyadari tak memiliki kesabaran yang luas. Termasuk menghadapi satu orang ini. Tak jarang ketika dia memasuki warkop, tak kutanyakan apakah dia ingin ngopi atau tidak. Bila dia memesan pasti kuajukan syarat, diminum atau tidak aku buatkan. Kalian tahu?, dia selalu tertawa dengan cara bicaraku nada suaraku. Dia tak pernah menganggap aku benar benar marah padanya. Meskipun ketus nada suaraku. Kadang datang sekejap hanya mengucapkan salam lalu keplas tak berbekas. Kadang datang hanya ingin duduk berteduh dari panas cuaca dan lelahnya meminta satu gelas es teh lalu pergi begitu saja. Aku amat sangat maklum, mencoba mencerna dan memahami kondisinya. Kemiskinan dan terlilit hutang akibat uang habis di meja judi adalah beberapa penyebab akan kondisi perilakunya.
Adzan baru saja berhenti berkumandang. Lelaki kurus kecil itu datang dengan mulut tak henti membaca ayat ayat suci. Seperti biasa, suaranya merdu dan laffadznyapun tak mengecewakan bagi telingaku. Dia mengingatkanku untuk segera ke mushola, menawarkan diri untuk menjaga warkopku. Balik dari mushola kulihat dai masih duduk njegreg di bale. Matanya menerawang , membuatku ingin ngulik ada apa di balik tatapan kosongnya. Tanpa aku sangka meluncurlah kisah siapa dia sebenarnya, dan semua cerita yang kudengar dari orang orang kampung sini benar adanya. Masa mudanya yang sia sia dan dihabiskannya dari balik terali besi, keluar dari situ tak membuatnya bertobat, maksiat makin menjadi. Dan Allah sangat berbaik hati padanya, dikaruniai dua anak yang sekolah di pondok pesantren dan istri yang luar biasa kesabaran juga kekuatan dalam menghadapi suami macam dia. Masih dicarinya suami yang tak pulang berhari hari, meskipun uang hasil jerih payahnya telah dihabiskan di meja judi. Masih dipertahankannya rumah tangga yang kepala rumah tangganya menghabiskan harta demi berjudi. Dan suami tak pulang berbulan bulan karena hampir tiap hari para penagih hutang datang silih berganti.
Katanya dengan suara terisak.
"Ramadhan tinggal menghitung hari, dan hutang tahun tahun lalu belum juga terbayar. Dosa saya begitu besar, bu. Dosa pada anak istri dan orang tua, dosa pada orang lain. Tak terhitung jumlahnya. Dulu saya guru mengaji, murid ratusan, sekarang hidup saya blangsak tak karuan. Sekarang saya berusaha untuk mengurangi judi. Saya ingin bertobat, takut dosa ini berkejaran dengan usia yang bisa saja tiap saat terhenti..."
Hening...tak tahu apa yang harus kulakukan. Mengelus pundaknya tak mungkin kulakukan karena dia bukan muhrim. Just say .."Menghentikan hobi memang bukan hal mudah. Pelan pelan saja, dengan niat bener benar ingin bertobat. Allah maha mengampuni..". Kalimat yang terdengar klise memang. Berharap semoga bisa mengetuk pintu hatinya yang sedikit terlihat terbuka.
"Sekarang kondisi saya benar benar di titik 0. Tak punya siapa siapa untuk mengeluh. Emak bapak telah tiada. Sekarang saya hanya bisa mengeluhkan semua masalah hidup kepada Allah.Tak ada tempat terbaik selain padaNya..".Air matanya mulai menetes, di usapnya dengan ujung bajunya yang lusuh. Wajahnya makin terlihat lelah..."
Aku tersenyum... lebih tepatnya memanipulasi diri sendiri agar taklarut dalam kisah sedihnya di maghrib ini.
Akhirnya kudekati lelaki kecil kurus itu..
"Sekarang pulanglah, mandi yang bersih, yang ganteng dan wangi. Sebelum waktu maghrib habis, sebelum usiamu habis. Sholatlah,..Allah sudah mencatat ucapanmu di depanku tadi, bahwa kamu telah bertobat."
Lelaki kurus kecil itu langsung berdiri, mengucap salam lalu pergi. Berjalan tergesa menmbus gelapnya dusun sini.
Ganti aku yang tergugu, untung warkop lagi sepi. Mengapa kutergugu...karena mengingat luasnya samudera dosaku...astaghfirullahaladzim. Rabbana dholamna anfusana waillamtaghfirlanaa watarhamana lanakunnannar minal khatsirin
Sesungguhnya, hanya Allahlah tempat mengadu, ketika hati sedang biru, ketika tak satupun pintu terbuka untuk kita mengadu..
0 comments:
Post a Comment