Tuesday, November 29, 2016

Kegalauan Seorang Ibu Yang Berprofesi Ambigu

Membuka medsos pagi ini, ada status yang membuat batin mak jleb. Bukan masalah status mencela atau apa sih, wong statusnya cuma bilang kalau "banggalah menjadi seorang IRT, karena kesuksesan suami dan anak anakmu ada di tanganmu. Lalu di bawahnya sratusnya ditautka dengan status penulis produktif "Tere Liye"
Entah tersinggung entah apa namanya, yang pasti semalaman saya jadi berpikir, bahwa ternyata saya   bukanlah sosok pure seorang ibu rumah tangga, pun juga bukan sosok seorang istri yang mampu membawa kesuksesan suaminya. Peran saya adalah sebagai perempuan berprofesi ambigu. Ora jelas kata orang jawa mah...







Ketidakjelasan profesi ini, membuat gak bisa tidur selama beberapa hari. Malam menjelang tidur sambil menatap  langit kamar , berdebat dengan diri sendiri. Saya adalah seorang ibu dengan dua anak abegeh yang sangat membutuhkan perhatian extra. Perlu ditemani dan didengarkan. But, meninggalkan mereka untuk bekerja sebagai barista di warkop ini bukanlah perkara mudah. Pekerjaan yang harus dikerjakan selama hampir 15 jam per hari. Ada rasa bersalah yang besar membongkah di dada, namun akan lebih merasa bersalah ketika saya hanya melahirkan dan membesarkan anak anak tanpa bekal ilmu di masa depan mereka. Dan tak bisa dipungkiri, semua perlu uang/biaya untuk merealisasikannya.
 
Saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Saya menyadari, belum sempurna menjadi seorang ibu. Gak usah sempurna deeh, jadi ibu yang baik aja saya belum bisa. Hidup ini adalah pilihan. Dan terkadang pilihan ini tak bisa dihindari ketika takdir melemparkan kita pada situasi yang tak diinginkan. Tanggung jawab sebuah keluarga ada di pihak lelaki yang berstatus seorang suami. Idealnya, istri adalah ibu rumah tangga yang bertugas mengurus rumah, anak anak yang notabene adalah sebuah keluarga. Menjadi pendukung penuh atas karir suami. Itu idealnya, bila suami telah mapan dalam menjalankan perannya. Namun, kenyataannya banyak perempuan dan seorang ibu harus berjibaku untuk menjadi pekerja mencari sekaligus mengurus keluarga dari A sampai Z. Semua harus dia handle. Dan itu bukanlah perkara mudah. Apakah ibu tersebut tidak lebih mulia dari seorang ibu rumah tangga?

Kita contohkan saja, sesesorang harus bekerja keras hanya untuk agar bisa bersedekah dengan nilai 100 ribu, dibandingkan dengan seseorang yang berlimpah materi dan bersedekah dengan nominal yang sama. Manakah yang lebih baik diantara keduanya?. Tentu yang harus bekerja keras dulu untuk bisa bersedekah,bukan?. Begitu juga seorang ibu yang harus bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Mulia atau tidak seseorang, tidak terletak dari statusnya. Tapi pada apa yang dia kerjakan. Biarlah Allah saja yang menentukan siapa yang lebih mulia di hadapanNya. So, stop mom war. Merasa mana yang lebih baik. Ibu rumah tangga biasa ataukah ibu yang bekerja di luar rumah yang tangannya tak kuasa menyentuh anak anak dan suaminya dengan sempurna. Keep fighting,because no one knows what happend on our future. Lakukan yang terbaik yang kita bisa dalam menjalani peran sebagai seorang ibu.








0 comments: