Menurut Quraish Shihab, kata Qadar (قﺩﺭ) sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni [1]:
- Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad-Dukhan ayat 3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami
- Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat
- Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra'd ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya)******* (sumber dari wikipedia).
Agama Islam berdampingan dengan tradisi yang mengakar
Masih ingatkah Kita ,bagaimana menjalani puasa di masa kanak kanak Kita?, tentu dengan suka citanya akan mengalir kisah yang indah dan mengundang tawa. Karena disetiap daerah di Indonesia memiliki tradisi berbeda dalam menyambut dan mengisi hari hari di bulan ramadhan. Maka kisahnyapun akan beragam pula.
Saat kecil dulu, Aku menyambut bulan ini selalu memberi perasaan exited. Kebersamaan keluarga Kami yang riuh dengan 9 bersaudara sangat kami nanti. Dimulai dari kegiatan ajakan Bapak dan Ibuku untuk membersihkan penjuru rumah dan halamannya, dua hari menjelang ramadhan. Pernah kutanyakan mengapa bersih bersih harus dilakukan?,toh setiap hari rumah juga sudah dibersihkan, jawaban Bapak dan Ibuku saat itu adalah jawaban yang tak pernah Aku mengerti .
Kata Ibu, wajib bagi Kita untuk membersihkan diri sebelum hari suci tiba, Kita bersihkan rumah dan sekitarnya, karena leluhur yang telah meninggal akan turun ke dunia, untuk pulang menemui Kita yang masih hidup. Waktu itu yang kubayangkan adalah mbah dan buyutku akan menemui Kami dengan masih terbungkus kain pocong, pasti sangat mengerikan, sungguh hal yang bertolak belakang dengan inti dari indahnya bulan ramadhan seperti kisah pak Syamsudin guru Agama Islam di sekolah dasarku. Waktu hal itu ku tanyakan pada Ibu, Ibuku mengelus rambutku dengan lembut dan berkata "Tentu tidak begitu Nduk, yang datang hanya arwahnya bukan badannya yang masih terbungkus kain putih, besok Kita kan membuat kue apem sebagai sesajen untuk mbah dan buyutmu" . Aku hanya mengangguk mahfum ,tapi apa itu sesajen?.
Apem Ibuku
Malam itu Ibu akan mengaduk adonan kue apem dengan tepung beras yang dibuatnya sendiri dengan terlebih dulu merendamnya semalaman. Adonan gula, tape dan tepung beras dan santan yang kalis akan ditutup dengan lap basah, esok hari adonan itu siap dicetak. Tak sabar rasanya untuk segera mencetak kue apem buatan Ibu.
Esok hari,Ibu akan duduk manis di atas dingklik kecil (Kursi dari kayu berukuran pendek), anglo besar yang atasnya diberi arang yang membara. Bila panas telah merata di wajan Ibu akan mencetak satu persatu adonan kue apem. Apem dicetak di atas wajan tembaga, diatas kue apem akan ditaburi beberapa iris buah nangka, sungguh perpaduan yang pas , menghasilkan aroma yang meruap seantero bilik rumah Kami.
Kami anak anaknya mengelilingi anglo dan berebut segera setelah cetakan perdana kue apem diangkat dari wajan. Bila Apem telah matang semua, Kami bagikan kepada para tetangga. Perlu diketahui bahwa tradisi yang ada di kampungku adalah bahwa hampir setiap rumah akan membuat kue apem, dan saling mengirim sepiring kecil kue apem didampingi dua buah pisang. Hingga di malam pertama tarawih, perut Kami akan kekenyangan karena terlalu banyak kue apem dan pisang yang Kami makan sedari sore.
Esok hari,Ibu akan duduk manis di atas dingklik kecil (Kursi dari kayu berukuran pendek), anglo besar yang atasnya diberi arang yang membara. Bila panas telah merata di wajan Ibu akan mencetak satu persatu adonan kue apem. Apem dicetak di atas wajan tembaga, diatas kue apem akan ditaburi beberapa iris buah nangka, sungguh perpaduan yang pas , menghasilkan aroma yang meruap seantero bilik rumah Kami.
Kami anak anaknya mengelilingi anglo dan berebut segera setelah cetakan perdana kue apem diangkat dari wajan. Bila Apem telah matang semua, Kami bagikan kepada para tetangga. Perlu diketahui bahwa tradisi yang ada di kampungku adalah bahwa hampir setiap rumah akan membuat kue apem, dan saling mengirim sepiring kecil kue apem didampingi dua buah pisang. Hingga di malam pertama tarawih, perut Kami akan kekenyangan karena terlalu banyak kue apem dan pisang yang Kami makan sedari sore.
Petualangan dimulai
Sandalku mana ???
Malam tarawih di hari pertama, masjid di kampungku akan penuh sesak. Maka dimulailah keseruan Kami. Akan ada insiden kecil yang seru dan membuat Kami tertawa tertahan. Mulai dari saling memanjangkan ucapan kata Amin menjadi aaaaaammiiiiiiiiiin, ditambah ritme yang meliuk liuk membuat telinga Pak Salim ( ketua takmir masjid ) dan para tetua kampungku serasa risih. Tapi Aku yakin, mereka tidak bakalan tahu siapa yang telah melagukan kata amin menjadi begitu panjangnya.
Diantara ceramah tarawih, Aku dan para gadis cilik geng di kampungku mulai beraksi. Kami akan menyembunyikan sandal dan bakiak kawan kawan Kami yang berjajar di depan masjid. Sebelum masuk masjid Aku sudah mengamati apa warna dan bentuk sandal kawan kami yang akan menjadi sasaran pertama...hemmm sungguh hal yang mengasyikkan saat melihat kawan Kami celingukan mencari sandalnya. Probo teman sebayaku lebih nekat lagi, Dia menyembunyikan bakiak pak Salim. Saat kutanya mengapa Dia lakukan itu. Jawabannya tak mampu kumengerti.
"Telingaku sakit mendengar suara bakiak saat pak Salim berjalan, selalu ada rasa takut. Karena Aku pernah dilempar bakiak olehnya. Hanya gara-gara lupa membayar lontong mi dan krupuk di warung istrinya". Mungkin ini yang disebut trauma bakiak. Dan kawan ,dari semua yang Kami lakukan, selalu ada pelajaran yang bisa Kita petik. Bahwa pembalasan ada di hari selanjutnya,bahwa ternyata karma itu ada. Beberapa hari kemudian , usai sholat tarawih sandalkupun raib entah kemana.
Bumbung karbit, kendang kempul, mercon, kembang api sampai kembang tetes
Suka cita dalam tradisi di bulan Ramadhan belum usai sampai disini, pulang tarawih Kami (Aku dan saudara empat saudara laki lakiku) akan mempersiapkan bumbung (bilah bambu yang besar), karbit,kain perca atau gombal plus korek api. Kami bawa menuju samping rumah untuk dinyalakan. Ujung depan bumbung Kami sumpal dengan kain, dan ujung satunya Kami isi dengan karbit yang akan Kami sulut dengan api, hingga ada tekanan udara dalam bumbung, dan sumpalan akan terlepas dengan jarak tertentu. Suara yang dihasilkan adalah berupa ledakan "Buuunnggg" yang bunyinya tak kalah dari 9/11 di WTC Washington DC. Bersorak penuh kegirangan . Heboh di samping rumah Kami mengundang teman teman Kami untuk berdatangan.
Macam macam yang mereka bawa ke halaman samping rumahku, ada yang membawa kembang api sampai 3 pak, kembang tetes yang kilaunya mengganggu mataku. Dan yang paling Aku suka adalah mercon bantingan. Pak Mahmud tetanggaku panen rejeki di bulan ramadhan, karena tokonya menjual aneka penghasil percikan api dan suara dentuman sungguh laris manis disaat seperti ini.
Teman Kampungku lainnya tak kalah heboh, seminggu sebelum ramadhan datang, mereka berubah menjadi pemulung. Mencari kaleng kosong bekas susu atau roti. Tak lupa mencari kertas semen juga, Untuk apa?. Kami anak kampung memang kreatif . Berlomba membuat kendang kempol dari kaleng bekas. Kaleng itu akan Kami lubangi bagian bawahnya,bagian atasnya Kami tutup dengan kertas semen berlipat lipat, Kami poles dengan lem kanji secara merata. Lalu Kami jemur di bawah terik matahari, hingga lem kanjinya berkilau bak intan permata. Semakin panas matahari menyengat, semakin bagus suara yang akan dihasilkan. Pemukulnya Kami buat dari kertas semen juga,. Lidi dari bambu yang ujungnya Kami beri bulatan kecil dari kertas semen dan diberi lem kanji juga. Perpaduan yang sempurna.
Usai tarawih Kami akan berkumpul bergerombol di bawah tiang listrik di tengah kampung yang kebetulan tepat di depan rumahku. Kami test satu persatu suara kendang kempol kaleng Kami. Suara bising kendang mengalahkan suara tadarus dari sound sistem masjid kampung Kami. Jadilah berkali kali para ortu Kami mengingatkan Kami untuk mengurangi suara pukulan kendang kempol karya Kami.
Teguran itu menghentikan Kami untuk beberapa saat, karena Kami juga akan mendiskusikan lagu apa yang akan Kami bawakan untuk berkeliling membangunkan penduduk kampung saat sahur nanti. Berbagai masukan lagu mulai dari dangdut sampai lagu kanak kanak. Saat Kami coba, tetap saja tak pernah indah dan seirama di telinga Kami. Tak masalah buat Kami, karena yang penting kegaduhan kendang kempol mampu membangunkan penduduk untuk makan sahur. Perjanjian kendang kempolers disepakati, "Jam dua dini hari berkumpul di bawah tiang listrik. Siapa lebih dulu bangun harap membangunkan yang lain".
Pulanglah Kami ke rumah masing masing..
Sesampai di rumah Aku melihat Ibu meletakkan sepiring kue apem dan pisang, segelas kopi,sebungkus rokok kretek merk "OEPET" dan semangkok kecil rendaman bunga di meja kamar Bapak dan ruang makan dekat dapur. Waktu kutanyakan untuk apa itu semua, Ibuku menjawab singkat ,
"Ini sesajen buat mbah dan buyutmu, sudah jangan banyak tanya lagi, cuci kaki dan tanganmu, wess ndang turu, ben gak telat tangi sahur".
Kulangkahkan kaki ke kamar mandi sambil terus berpikir, ternyata sajen itu untuk makanan yang dihidangkan untuk arwah yang akan datang ke rumahku. Apakah mbah buyutku akan memakan semua hidangan itu?, apakah orang yang sudah mati juga suka kopi seperti Bapakku?. Aku tak menemukan jawab. Hingga Aku masuk menyelinap ke kamar Bapak dan menanyakan semua itu. Bapak hanya menjawab "Kalau ingin tahu apa yang akan terjadi, jangan tidur malam ini,cepat matikan lampu teploknya". Aku kecewa dengan jawaban Bapak, tapi Aku lakukan juga perintahnya.
Memaknai dengan salah kaprah
Pada akhirnya Aku memang tak bisa tidur, entah kepikiran apa yang lebih dominan. Memikirkan sesajen atau takut tak bisa bangun untuk memenuhi perjanjian kendang kempolers. Saat malam rumahku memang hanya remang remang. Yang menyala redup hanya lampu teplok dekat dapur dan ruang tengah. Ruangan yang lain gelap gulita, maklum saat itu Bapak belum mampu pasang listrik PLN. Ini menambah aura magis di rumahku.
Tapi Aku ingat ucapan pak Syamsudin bahwa pada bulan Ramadhan para setan dan sekutunya akan diikat di neraka oleh Allah SWT. Jadi Aku tak perlu takut. Di kamar Aku dan kakakku membicarakan sesajen sambil berbisik, dan memberi tantangan siapa yang bakal melihat mbah dan buyut datang ke rumah ini dan memakan sesajen di meja makan. Pembicaraan saudaraku akhirnya lambat laun hilang dari peredaran, berganti dengan suara dengkuran kelelahan. Hanya mataku sendiri yang masih terbuka lebar, tak punya kantuk. Perlahan Aku bangkit masuk ke kamar Bapak dan Ibu.
Aku duduk di ujung kaki Bapak dan Ibu yang sudah tertidur pulas. Kutatap meja di ujung kamar, kuberharap malam ini Aku bisa melihat wajah mbah dan buyutku yang belum pernah Aku lihat sebelumnya. Malam kian larut, akhirnya si kantuk menyerang mataku juga. Entah berapa jam kemudian, Aku terbangun karena merasakan benda keras di wajahku. Ternyata itu kaki Ibu yang mendarat manis di wajahku. Mataku berat untuk terbuka, tapi kelebat bayangan gelap membelalakkan mataku.
Tubuhku terasa membeku, jantungku berdetak keras. Takutku mulai menjalar. Bayangan gelap itu membelakangiku, berdiri sejenak lalu duduk di kursi dekat meja sesajen. Aku makin meringkuk menahan nafas, kututup wajahku. Tapi ruas jariku sedikit kubuka untuk tetap melihat bayangan siapa itu.
Sepotong apem dicomotnya, beberapa menit kemudian pisangpun dimakannya. Dan terakhir kopi diminumnya pula. Tandas hanya tersisa ampas. Hanya bunga dalam mangkok yang tak disentuhnya...aneh. Tapi benar dugaanku , orang yang meninggalpun suka kopi seperti Bapak, yang datang malam ini pasti mbah kakungku. Lalu kemana yang lainnya?kemana Mbah putriku? apa mereka tidak ikut pulang?.
Sejurus kemudian kulihat bayangan itu membuka bungkus rokok dan menyalakannya. Menghisap perlahan, menikmati tiap inchi rasa tembakau.
Bayangan hitam itu lalu berdiri perlahan, Aku hampir berteriak saat Dia menoleh ke arahku. Beruntung hanya sekilas Dia menoleh, kemudian kulihat bayangan itu membuka kelambu kamar, samar kulihat dan ku panggil Dia..."Bapaaaaak".
Pelajaran tentang arwah dan tradisi
Orang yang telah meninggal tak akan bisa kembali ke dunia nyata apalagi hanya untuk sekedar makan apem,pisang dan minum kopi,apalagi makan rendaman bunga tujuh rupa. Agama Islam dan tradisi yang turun temurun tak bisa Kita hindari di negri ini.
Biarlah perbedaan pendapat mewarnai kehidupan beragama dan bermasyarakat negri ini. Menghormati satu sama lain lebih baik daripada selalu merasa dirinyalah paling benar, dan berdebat tanpa berujung. Lebih lagi "Merasa diri yang paling benar" kerap menjadi pemicu pertumpahan darah di negri ini.
Mari Kita lalui ramadhan dengan hati bersih dan damai hingga kemenangan di Iedul Fitri dapat Kita raih, aamiin.
13 comments:
Huaaaa...lengkap sekali Nuansa Ramadhan di tempatmu Mba.
Ada bersih-bersih hingga kue apem...wenak tuuuh.
Sukses ya
Salam
Astin
lengkap & seru :)
Mbak Astin, saat ini hampir tak bisa kutemukan lagi hal seperti itu di kompleks perumahanku..always missed that
Mbak Nathalia, Ramadhan memang selalu indah dan seru..
Geli dibagian sesajen buat arwah. Kok sama ya dengan aku, suka kopi juga. qiqiqi.
Semoga sukses dengan GAnya
Ramadan di Indoneaia suka ada tradisi2 yg menyertainya ya :)
Mbak Niken, Arwah gaul yang suka ngopi tuh mbak.
Sukses juga buat GAnya mbak Niken, nice post..:)
Keke Naima, Indonesia memang unik. Berbagai macam tradisi di segala lini
Seru dan ceria Ramadhannya :)
Mbak Susanti, ramadhan memang harus selalu disambut dengan ceria kaaan..:)
wah bumbung itu.. jadi teringat waktu saya kecil dulu. kalo sudah main itu berasa tentara Indonesia yang memukul mundur penjajah Belanda.. keren kaaan??
Riski Fitriasari, kereenn abiss,permainan anak sekarang kalah seru dibanding permainan Kita dulu..:)
tradisinya menyenangkan ya, terimakasih atas partisipasinya
Post a Comment