Wednesday, May 8, 2013

Belajar menjadi Ibu yang baik

      Menjadi seorang ibu bagi kaum wanita adalah sebuah impian. Apalagi setelah menjalani sebuah pernikahan ,kehadiran seorang anak adalah hal yang sangat diharapkan. Namun itu tidak berlaku bagiku,setidaknya saat Aku masih membujang. Alasannya adalah seperti yang tertulis pada  Jurnal Evi Indrawanto di postingan  Apakah Saya sudah menjadi ibu yang baik?. Bahwa sebutan Ibu bukan hanya sebagai status biologis,begitu bayi terlahir maka panggilan Ibu,Bunda atau mama akan tersematkan pula buat Kita. Oh..No,Aku tak inginkan itu..
      Bukan tanpa alasan itu menjadi pemikiran sesat saat Aku membujang mengenai seorang Ibu,karena bagaimanapun juga Aku tak mau disebut sebagai anak durhaka,tak menghargai kehadiran seorang Ibu yang telah melahirkan Aku. Karena sejak kelahiran putriku Cynara Nafisa,persepsiku tentang seorang Ibu berubah drastis. Apa dan bagaimanapun seorang Ibu ,toh Aku merasakan jua bagaimana proses kelahiran yang sangat excited.dan akhirnya Aku dipanggil Bunda oleh buah hatiku.


     Saat melahirkan ada ketakutan yang diam diam menyelinap dalam batinku,apakah Aku hanya bertugas melahirkannya ke dunia ini tanpa membekalinya?dan sejarah akan berulang putriku akan mengalami hal yang serupa denganku?siapkah dia menjalani derasnya samudra kehidupan kelak yang tidak selamanya indah?.
Entahlah berapa banyak pertanyaan menyeramkan dan seolah tanpa visi melandaku saat itu.    Namun saat suster rumah sakit mengajariku bagaimana menyusui bayi diawal melahirkan,kupandangi bayiku menyusu dengan lembut dalam pelukanku,aliran kedamaian tiada terkira mengaliri batinku. Tekad untuk tak sekedar menjadi ibu biologisnya menggelora,dengan banyak planning ini dan itu tak ketinggalan proteksi ini dan itu. 

      Hal utama yang Aku impikan ketika putriku tumbuh adalah,dia bisa melakukan hal sekecil apapun adalah karena bundanyalah yang telah mengajarinya. Belajar berjalan,bicara  dan mengaji sebelum masuk TPQ. Dan dengan lantang kelak dia akan menjawab pertanyaan "Aaihh pinternya sudah pandai mengaji,siapa yang mengajari?".
Demi Tuhan Aku ingin putriku menjawab "Bunda yang mengajariku..." dan itu menjadi nyata,saat itulah kurasa bahwa Aku adalah Ibu yang sempurna buat putriku. Lebaayy...biarin...:). Duhai putriku Aku iri padamu karena aku tak pernah ucapkan itu.
      
     Membekalinya dengan pendidikan moral bagiku adalah diatas segalanya. Maka pendidikan agama kumulai sejak dalam kandungan. Kerap kudengarkan ayat ayat cintaNya menjelang tidurku. Menilik masa lalu, memberi kekhawatiran bahwa kelak buah hatiku akan mengalami hal yang serupa,dan tak memiliki tempat saat galau dan merapuh. Kembali tekadku menjadikannya wanita kuat bukan hanya secara fisik tapi juga psikis. Aku tak ingin anak anakku mendapatkan perlakuan Bully . Kuikutkan mereka dalam olahraga Tae Kwon doo,prinsipku mereka harus bisa menjaga diri sendiri,karena tak selamanya Aku ada di samping mereka untuk menjaganya. Berbagai dialog dari hati ke hati Aku coba terapkan. Bahuku selalu kusiapkan untuk buah hatiku bersandar saat getirnya. Jemariku tak akan pernah berhenti mengusap air matanya. Telingaku tak akan pernah bosan untuk mendengarkan semua cerita celotehnya. Duhai putriku..Aku iri padamu,karena dulu Aku tak memliki tempat untuk itu

      Menjadi Ibu super bukan impianku,cukup sebutan Ibu yang baik. Meski itu tak pernah ada kata cukup buatku untuk melakukannya. Kini kedua buah hatiku telah beranjak remaja,semakin sulit saja rasanya. Apalagi saat badai datang pada kapal Kami,sungguh berat. Menjadi single parent,status Bundanya. Aku yakin itu juga bukan hal yang mudah buat mereka. Namun Aku sangat bersyukur,dialog dari hati kehati yang Aku terapkan dulu sungguh sangat membantu di saat seperti ini. Pertanyaan mengapa Bunda dan Ayahnya berpisah kujawab dengan gaya bahasa mereka. Kukirm sebuah pesan dalam secarik kertas,di sini...di meja belajar ke dua buah hatiku. Karena Aku tak sanggup menahan keedihan mengatakannya. Dan syukur Alhamdulillah Kami bisa melewati masa masa itu.

      Tiap hari,dari pagi hingga petang menjelang kutinggalkan buah hatiku mencari nafkah tanpa penjaga di rumah alias bak mbak yang menjaga mereka. Pastinya dengan begitu banyak pesan saat Aku harus meninggalkan mereka
1. Dont talk with a strangers alias jangan bicara denga orang asing
2. Tutup pintu dan pagar jangan biarkan orang yang tak kalian kenal masuk rumah
3. Jangan menyalakan kompor
4. Hati hati di jalan kalau naik sepeda / motor
5. Dan "Jangan yang lainnya" Mungkin mereka bosan dengan semua petuahku, yang tak bosan buat mereka adalah sebuah peluk cium saat mereka berangkat sekolah dan seuntai doa "sukses selalu ya Nak.." . 

      Ada perasaan sangat bersalah pada mereka. Menjadi Ibu yang tak bisa mereka lihat sat pulang sekolah. Padahal dulu saat pulang sekolah adalah saat mereka berceloteh dar A sampai Z apa saja yang mereka alami di sekolah. Meski Keletihan  menjalar,kuusahakan tak mengurangi fungsi telinga ,mata dan hatiku mendengar cerita mereka saat Aku pulang kerja. Mendampingi disaat mereka belajar. Menemani putriku yang beranjak remaja ke mall mencari pernak pernik ala cewek. Hingga menemani jagoan kecilku bermain bola di hari minggu. Sungguh melelahkan,tapi terasa nikmat buatku. Memandangi mereka ketika terlelap dalam pelukanku,adalah kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apapun. Buah hatiku selalu mengatakan "Aku selalu merasa damai kalau dipeluk Bunda..". Ahhhh..terdengar romantis ditelingaku. Duhai buah hatiku Aku iri padamu ,karena Aku tak pernah merasakan apa yang yang Kau rasakan.
       Terima kasih Jurnal Evi Indrawanto, dengan membacanya menjadi pengingat buatku. Bahwa Aku harus terus banyak belajar ,bukan hanya sebagai Ibu biologis dua buah hatiku,tapi sekaligus teman,sahabat dan sandaran buat mereka .

       Maafkan Aku nak,karena tak pernah sempurna menjadi seorang Ibu buatmu,tapi percayalah, Bunda tak pernah berhenti untuk belajar menjadi Ibu sekaligus Ayah yang baik untukmu...





0 comments: