Poligami

Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Aku masih beberes. Menutup tirai warkop. Maklum sekarang bulan ramadan. Menutup tirai salah satu cara menghormati orang yang berpuasa.
Dua orang wanita berhijab memasuki warkop. Menanyakan apakah kopi sudah bisa dipesan. Tentu kujawab sudah, asal mereka sabar sebentar.karena air baru saja kujerang.
Sempat dan jelas kudengar percakapan mereka.

Perempuan pertama:"Semalam suamiku pulang dari rumah istri ke duanya dalam keadaan lusuh dan sedih. Aku tanya kenapa, jawabnya singkat, tapi membuat hatiku bersorak kegirangan.."ucapnya dengan nada riang.
Teman si perempuan balik bertanya" Memang apa yang membuat suamimu sedih?"
"Istri ke duanya keguguran dikehamilan bulan ke 3"
Jawabnya bersemangat
Temannya menatap dengan wajah heran.
"Mendengar kabar seperti itu membuatmu bahagia??. Omaigat ..segitu bencinya kamu dengan madu suamimu. Bagaimana jika kamu yang mengalaminya, kehilangan janin calon buah hati?".


Kuletakkan dua cangkir white kopi di atas meja mereka, ketika hendak berlalu perempuan yang sedang bahagia itu menepuk lenganku.
"Eh mbak, memang saya salah ya kalau berbahagia di atas kesedihan istri ke dua suami saya. Bukankah itu balasan bagi seorang pelakor alias perebut laki orang. Tuhan maha adil kan, mbak?. Dia sedang menghukum istri kedua suami saya sebagai balasan setimpal atas perbuatannya"..katanya dengan nada meminta persetujuanku.


Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Tak hendak berniat menghancurkan kebahagiaannya juga bukan berarti tak prihatin dengan madunya yang telah kehilangan calon buah hati.
Kuberlalu dari hadapan mereka. Ada rasa yang terkoyak di sini. Apapun alasannya ,menjadi istri ke dua dalam ikatan poligami seperti sebuah malapetaka. Selamanya akan menyandang status sebagai  terdakwa. Dipandang sebagai pelakor alias perebut lelaki orang. Tak ayal status tersebut akan mendapat banyak caci maki dan hujatan. Bahkan yang lebih sadis lagi perempuan ke dua tak lebih dari seorang pelacur. Karena lelaki yang berpoligami mayoritas alasannya hanya masalah urusan tempat tidur yang kurang didapatkannya dari istri pertama.

Hampir tak pernah saya mendengar ada yang berempati dengan para pelaku poligami, khususnya istri ke dua, yang datang dalam sebuah keluarga utuh dan kedatangannya bagai duri dalam daging yang bisa mengoyak kebahagiaan wanita lain juga memporak porandakan sebuah keluarga. Simpati selalu tertuju pada istri pertama, meskipun dasar tindakan  berpoligami suaminya sangatlah kuat. Banyak alasan mengapa perempuan bersedia menjadi istri ke dua, meskipun hati kecil mereka sesungguhnya tak menghendaki itu terjadi dalam hidupnya, bahkan dalam mimipipun mereka tak pernah menginginkannya. Takdir tak bisa ditebak ke mana arah kehidupan manusia, sesuai mau ataupun tidak. Menangis atau bahagia dengan pilihannya. Namun satu hal yang pasti, poligami tak akan terjadi begitu saja tanpa campur tangan Tuhan yaitu takdirNya. Dan takdir hanya akan tak terjadi dengan kekuatan doa. Jika pembaca tak menginginkan poligami terjadi dalam rumah tangga, maka perbanyaklah doa dan menjaga keharmonisan keluarga. Jangan hanya nampak bahagia hanya sekedar kasat mata, namun bahagialah yang sesungguhnya.

Bagi istri ke dua, pelakor atau apapun istilahnya, bila tak mau berbagi tak mau banyak air mata maka beranilah menghadapi dunia sendirian. Dan jika meyakini yang telah terjadi adalah takdirNya yang harus dijalani, bersiaplah dengan resiko yang mungkin beratnya lebih dari yang dibayangkan. Berdamai dengan diri sendiri, menyadari bahwa dunia tak terlalu baik menyambut status sebagai istri ke dua.