Saturday, November 8, 2014

Jika Allah tlah berkehendak' Kun Faya Kun, maka terjadilah

Seorang sahabat tiba tiba muncul di depan pintu dengan senyum haru berlari memeluk erat tubuh Saya sore ini. Suaranya sedikit parau saat berbisik di telinga Saya, yang mengatakan bahwa dia baru saja pulang dari tanah suci, untuk menyempurnakan ibadahnya sebagai seorang muslim untuk menjalankan rukun islam yang ke 5. Ya, dia sudah menjalankan ibadah haji. Saya merasakan bahagia yang tak terkira dari bisikan lembutnya di telinga Saya. Betapa tidak, Saya yang sangat tahu bagaimana kehidupan di masa lalunya. Semua serba menakjubkan bagi Saya. Betapa Allah memilih hambanya untuk datang ke rumah suciNya tanpa terduga. Semau mauNya. Teman Saya sendiripun mengibaratkan hidupnya bak mimpi, merasakan bahwa betapa Allah ternyata masih menyayanginya. Hidup dalam dunia yang gelap, jungkir balik mengkais rejeki. Tak peduli hasilnya halal ataukah haram. Semua demi mencukupi pundi pundi keuangannya, dan bertahan hidup dari kemiskinan yang mencekik keluarganya.

  Jodoh datang menjemput 

Dalam perjalanan hidupnya, Allah mempertemukannya dengan seorang lelaki yang jatuh hati dan sangat mencintainya. Tak peduli apakah lelaki itu miskin atau kaya, dimata teman Saya lelaki yang hadir dalam hidupnya saat ini, adalah lelaki yang sangat baik, dan taat pada agama. Inilah lelaki yang dia harapkan untuk mendampinginya sebagai seorang suami. Usia yang hampir senja tak menyurutkan langkah dan doanya untuk terus berharap pada sang maha pemberi pasangan agar Allah mengirimkan suami untuknya. Lelaki inipun tak mempedulikan masa lalu teman Saya. Cinta tulus tlah mendorongnya untuk mempercepat pada keputusan melamar dan membawa teman saya ke mahligai perkawinan. Sayalah yang pertama kali menerima kabar ini dari teman Saya ini, entah mengapa dia selalu menganggap saya adalah orang pertama yang harus tahu apapun yang terjadi dalam hidupnya. Kebahagiaan maupun kesedihan. Kami jarang berkomunikasi, tapi Kami seperti punya sinyal khusus apabila ada sesuatu yang terjadi diantara Kami. Entahlah, apa nama pertemanan kami, sahabat atau soulmate. Kami tak pernah tahu, dan hampir tak pernah membahas masalah ini. 

 Menjemput HidayahNya

Berjuang bersama membangun bisnis, perlahan tapi pasti sang suami membimbingnya untuk berbisnis dan mencari uang dengan cara halal Sesuai dengan syariat agama islam. Dengan sabar pula memberi nasehat agar teman saya mau menanggalkan rok mini dan baju seksinya. Aurat teman saya ini , meski usia hampir kepala 4, masih sedap untuk dipandang siapapun. Apalagi wajah manisnya, hampir tak termakan usia. Suaminya mengajaknya ke majelis majelis taklim yang ada di kota kecil Kami. Tentu saja tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah penampillan teman Saya ini. Dia mengatakan , terkadang malam malam dia terbangun hanya untuk membongkar isi almari bajunya, menatap satu persatu baju dan gaun yang ada didepan mata. Keresahan tak mampu dia kendalikan dengan baik. Diskusi alot dengan sang suami akan makna menutup aurat. Namun dia selalu merasa kalah, bila ciuman suami tercinta mendarat di keningnya, sambil berkata. “ Tak ada firman Allah dalam Al Quran yang harus Kita perdebatkan dan Kita bantah istriku tercinta. Kau beriman pada Allah bukan? Bukalah dan bacalah Al Quran, bila kamu belum mampu membacanya dengan benar, bacalah maknanya. Sesungguhnya itu lebih baik”. 

Masih teringat jelas dalam ingatan, siang itu dia datang dengan wajah tak mampu kuterka. Dihempaskan tubuhnya di atas kursi tamu, “Tuhan, mana Aku sanggup membantah kalau suami sudah mencium keningku, rasanya itu sampai disini (menunjuk dada kiri). Perlakuannya itu selalu mampu mengalahkan ego dan menyejukkan hatiku”. Katanya sambil menutup mata dan senyum bahagia terlihat jelas di wajahnya. Saya tersenyum kalau dia sudah berapi api menceritakan diskusi hijab dengan sang suami, dan membenarkan apa kata suaminya. Lalu aku sodorkan tafsir Al Quran. Membuka surat An Nisa. Betapa dalam surat ini wanita mendapatkan banya perhatian dan perlindungan bagi wanita. Diapun menjawab “iya, Aku sudah tahu. Aku sudah baca, sudah gugling pulak”. 

Tawa lepasku tak mampu kubendung, dan sungguh aku tau jawabannya. Dia hanya belum rela untuk melepas dan membuang baju baju kesanyangannya. Satu baju harganya bisa ratusan bahkan jutaan rupiah. Kalau diberikan pada teman sesama muslim tentu tidak etis. Saranku, padu padankan dulu baju yang masih bias dipakai, yang mini buat lap kompor aja. Baju yang masih terlihat sopan bias disimpan. Menutup aurat gak selalu harus terlihat tidak modis. Temanku senang, akhirnya menemuka solusi akan keresahan batin dan baju baju kesayangannya. Seminggu kemudian, datanglah hijaber cantik pemula itu di depan rumahku. Im proud of you my dear friend. Kau tak menunggu datangnya hidayah, tapi menjemputnya dengan perjuangan.

 Haji bukan impian tapi cita cita  

Semasa satu kamar di kos kosan dulu, sepulang kerja Kami selalu menikmati makan malam dengan yang lauk itu itu juga diatas balkon dekat kamar. Menu tempe penyet atau mi instan adalah teman setia kami. Usai makan terkadang kami membicarakan apa impian kami masing masing. Kalau temanku bertanya apa impianku dan kujawab jadi ibu kos yang baik, dia akan tertawa terbahak sambil melempar bungkus tempe penyet yang sudah di remasnya menjadi sebuah bola kecil ke arahku. Karena buat dia impianku hanya sebuah balas dendam karena ibu kos kami sangatlah galak dalam menagih uang kos kami yang terlambat. Dan bila kutanya apa impiannya, dia akan menjawab "Jangan kamu tanya apa impianku, tapi tanya apa cita citaku. Buatku cita cita lebih tepat dibanding impian. Aku ingin menjadi seorang Hajjah, Aku ingin pergi ke tanah suci. Karena itu cita cita emak sebelum pulang ke rahmatullah". 

Kalau sudah begini, suasana kami akan terasa sendu. Diam dalam pikiran masing masing, menerawang masa depan yang seolah tak pasti. Bagaimana tidak, kami bekerja dengan shift pagi sampai jam satu siang, istirahat sebentar lalu jam 5 sore kami akan kembali lagi. Sebagai pramuniaga toko, dengan gaji tak seberapa. Kami harus super hemat dan tirakat, karena biaya di rumah kami tak mampu dihindari. Hingga kami memutuskan untuk menyimpan impian atau cita cita kami dalam kotak kecil di otak kami. Yang kadang tersingkap menjadi bahan lelucon saat kami dilanda kepanikan finansial.

Namun bila Allah tlah berkehendak, kunfaya kun, maka terjadilah. Cita cita yang hampir ditanggalkan karena keadaan tak berpihak pada manusia, tetaplah akan terjadi. Apalah yang tak mungkin bagi Allah, manusia yang telah dianggap sebagai sampah masyarakatpun, dipanggilnya ke baitullah, untuk datang menyempurnakan ibadah dan rukun islam yang di yakininya. Meski masa lalu yang gelap tak mampu dihapus dalam ingatan, tetaplah melaju menggapai masa depan yang lebih indah. Tak lelah untuk menggapai hidayaNya, meski badai dan perihnya kehidupan kerap mengintai.
Kamu benar temanku, haji bukan impian tapi sebuah cita cita yang kamu teguhkan segenap hatimu. Beriringan dengan polahmu yang tak semestinya. Namun nuranimu tak pernah melepaskan kerinduan untuk datang ke rumah Allah, dan status hajjah kau sandang. Mungkin Kamu ingin emak disana, bahagia melihatmu mengirimkan Al fatehah di tanah nan suci.
Labbaik Allah humma labbaik. Labbaik la sharika laka labbaik. 
Ya Allah, undanglah Aku untuk datang ke baitullah, rumah suciMu


 

0 comments: