Ini kali ketiga aku mendatangi
puskesmas untuk menambal gigi yang sudah berlubang. Berharap ini adalah segmen terakhir
ritual penambalan yang membuat aku harus kuat menganga hingga rahangku sulit
untuk digerakkan. Keadaan ini membatku sering dilanda penyesalan karena tak
pandai dalam menjaga kesehatan gigi. Entah karena faktor usia ataukah memang aku
yang tidak care soal kesehatan gigi.
Menunggu di sebuah tempat
pengobatan, apapun namanya, entah RS, poliklinik, atau puskesmas sekalipun
bukanlah hal yang menyenangkan bagiku. Karena yang biasa terjadi adalah duduk
diantara banyaknya pasien dengan beragam masalah kesehatan. Suka ngeri dengan beraneka macam penyakit yang beredar di tengah masyarakat. Tapi sekaligus bersyukur aku hampir tak pernah mengalami sakit serius di usiaku yang tak lagi muda. Apalagi ini
menyangkut kesehatan gigi. Diam saja tanpa berinteraksi bukanlah kesukaanku.
Namun untuk bicara banyak, mulut enggan terbuka karena rasa tak nyaman pada
gigi.
Seorang nenek tua yang duduk di
sampingkupun tak mampu membuat mulutku terbuka. Percakapan diawali dengan menanyakan
apa sakitku yang kujawab dengan hanya menunjuk jari ke arah gigiku. Si nenek
berkebaya coklat kusam mengangguk sambil bercerita bahwa giginyapun bermasalah.
Dia ingin segera mencabutnya, karena sudah tak tahan dengan sakit yang tiap
saat harus dirasakannya. Sarapan makan nasi jagung kesukaannya jadi tak nikmat
lagi selama seminggu ini. Tidurpun tak nyenyak karena bila malam menjelang rasa
senut makin menjadi. Apalagi cucu terkecil yang masih bayi, tangisannya kerap
menambah beban sakit di gigi hingga kepalanya.
Tawaku tak mampu kutahan
mendengar penuturannya yang penuh semangat. Nenek ini curhat dengan gaya lucu
dan lafadz yang tidak jelas karena giginya hanya tinggal beberapa saja alias hampir ompong. Tapi aku bisa menangkap apa yang dimaksudnya. Si
nenek diam saja melihatku tertawa, tak ada wajah tersinggung sama sekali.
Ketika nama kami di panggil oleh seorang perawat( ternyata nama nenek ini adalah Darsiyem) si nenek mendekatiku dan berbisik,
“Lihat nak, hari ini dokter itu
pasti tidak akan menolak mencabut gigiku. Ini sudah hari ke lima aku datang ke
sini”
Aku hanya berkata “Wow, semangat
mbah!!” sambil kutepuk pundaknya perlahan.
Di dalam ruang klinik, kulihat
dokter dan perawat senyum senyum melihat wajah si nenek. Lima hari melihat wajahnya pasti lebih dari familiar bagi mereka. Dokter gigi Aida mempersilahkan Aku duduk di kursi perawatan gigi. Memeriksanya , dan mengatakan tinggal sekali lagi , hasil tambalan ini akan tertutup sempurna. Lega rasanya. Sedangkan mbah Darsiyem masih curhat dengan gaya lucunya. Duduk menghadap dokter dengan wajah bersungguh sungguh mengatakan bahwa semalaman dia tak bisa tidur, cucunya yang masih berusia dua bulan sakit panas dan menangis semalaman. Memohon pada dokter untuk segera mencabut giginya, agar saat cucunya menangis dia tak ikutan menangis karena efek tangisan cucnya sungguh membuat sakit giginya luar biasa
Dokter gigi di depan mbah Darsiyem, hanya berkata.
"Aduh mbah, pagi pagi sudah curhat. Lima hari kesini curhatnya ganti ganti cerita, giginya mbah ini belum bisa dicabut bukan karena dokter tidak mau mencabut. Empat hari mbah kesini tekanan darahnya mbah itu tinggi. Berbahaya mbah, kalau pencabutan gigi tetap dilakukan. Wes, sekarang mbah ke ruang periksa umum. Cek tekanan darah dulu nggih" saran dokter dengan penuh kesabaran. Sedangkan mbah Darsiyem, tetap kekeh untuk tak beranjak dari tempat, tiga menit kemudian kakinya melangkah menuju kursi pemeriksaan gigi. Dan berkata ,
"Suruh kesini saja dokter yang memeriksa tekanan darah, siapa tahu hari ini normal. Jadi gigi ini bisa langsung dicabut, tanpa mbah harus wira wiri. Mbah sudah capek, hampir seminggu gak bisa makan dan tidur nyenyak".
Dokter dan para perawat terlihat melongo melihat sikap mbah Darsiyem, aku tertawa tertahan karena posisi rahang sedang menganga. Ternyata benar, mbah Darsiyem lebih memilih sakit hati diomeli dokter gigi daripada sakit gigi.
0 comments:
Post a Comment