Tuesday, November 15, 2016

Ketika Memepersiapkan Masa Tua Tak Sesuai Impian

Sinar matahari pagi ini masih enggan memancar. Hujan semalam telah sanggup meninabobokan panas sinarnya. Langit masih berselimut mendung tipis. Semangat untuk mencari nafkah dalam diri, tetap kulecut, membuang rasa malas meninggalkan kamar sambil bergelut dengan selimut. Usai menyiapkan bekal kedua anak anak, membereskan rumah, mandi dan kulangkahkan kaki menuju tempatku mencari rejeki, warung kopi.
Sambil mengerjakan segala rutinitas dan ritual sebelum membuka warkop, kuputar lately by Stevie Wonder dari hapeku. Lagu yang syahdu cocok di pagi mendung ini. Kupikir ada saatnya  kumemanjakan telingaku sendiri, sebelum kumanjakan telinga pembeli dengan lagu dangdurt koplo. Usai membuka pintu warkop, kulayani satu persatu pesanan kopi untuk pembeli. Memang nikmat menikmati kopi pekat diudara dingin pagi ini. Kopi dan gorengan, adalah pasangan sempurna. 




Dari beberapa pembeli yang datang, masing masing tak hanya sibuk dengan gadget menikmati wifi, ada juga yang matanya terpaku pada berita koran pagi. Sebagian mengisi waktu ngobrol dengan temannya. Namun ada satu yang menarik pandanganku. Duduk di bale, seorang lelaki tua memandang jalanan depan warung kopi dengan pandangan kosong menerawang. Salah satu kebiasaanku untuk membuka kedekatan dengan pelanggan adalah mengajak mereka ngobrol sekedarnya. Pun dengan lelaki tua itu. Entah basa basi atau simpati. Kutanyakan kabarnya, apakah sehat dan baik baik saja hari ini. Meskipun aku tak pernah melihat lelaki tua itu sebelumnya. 
Seperti kebanyakan orang tua lainnya, didengar adalah hal yang membahagiakan buat mereka. Cukup satu pertanyaan kita akan mendapatkan banyak jawaban. Begitu juga dengan lelaki tua di depanku, dari mulutnya. Setelah nyrupu kpi hitam pekat dihisapnya rokok kretek disela bibirnya dalam dalam, lalu mengalirlah sebuah cerita..
2 tahun lalu lelaki ini telah ditinggal mati oleh istri tercintanya. Memiliki 4 orang anak yang telah berumah tangga semuanya. Memililik kos kosan 12 kamar yang terletak di sebelah rumahnya. Semua hasil kristalisasi keringat selama puluhan tahun sebagai sopir. Bersama istri, dari hasil kos kosanlah mereka berdua memetik hasil menikmati hidup. Namun ketika sang istri meninggal, dia hidup sendiri. Ketiga anaknya hidup di luar kota. Bersama si bungsu anak no 4 yang paling dia sayang dia ingin habiskan masa tuanya.

Alih alih mempersiapkan masa tuanya dengan damai dan bahagia, mendadak kisah hidupnya jungkir balik bak roller coaster. Keluarga istrinya meminta dia pergi dari rumah tersebut. Karena tanah yang dia tempati bukanlah tanahnya, tapi tanah mendiang istrinya. Menangisi nasib, hanya itu yang bisa dilakukakannya untuk sesaat. Hanya mampu menatap rumah yang telah dibangunnya dengan susah payah. Menikmati hasil kos kosan untuk hidup sehari hari ketika tubuhnya telah mulai renta, semua hanya tinggal harapan. Hidup dan keadilan tak berada dipihaknya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, mungkin ada kisah yang hilang. Ketika pada akhirnya dia harus pergi meninggalkan rumah dan kamar 12 kebanggaannya sebagai seorang suami dan ayah bagi ke 4 anaknya. 

Kesedihan yang mendalam bukanlah terletak pada rasa kehilangan akan hasil jerih payahnya selama ini. Akan tetapi penyesalan pada tanya yang tak terjawab dan tak mampu dia nalar dengan baik. Mengapa justru anakyang selama ini dia sayangi lebih dari anaknya yang lain, tega pula memintanya pergidari rumah tersebut. Ketika kubertanya, apakah ketiga anaknya yang lain tak tahu kondisi ayahnya. Jawabnya semakin tak kumengerti akan kasih sayang yang dibutakan oleh cinta pada anak kesangannya. Dia tak ingin anak anak yang lain akan memusuhi atau memarahi anak bungsunya. Lalu buru buru pulang melihat kondisi orang tuanya. Dia tahu berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh anak anaknya lkalau harus pulang ke tanah Jawa, belum lagi harus ijin dari tempat kerja. 

Maka, dia memilih untuk pergi dari rumah dan hidup ngekos di desa lain agar tak mendapat malu dari tetangganya. Melanjutkan hidup dengan bekerja lagi sebagai sopir ekspedisi. lalu menyerahkan semua itu pada sang pemilik waktu untuk mengobati luka hati dan kesedihan. Sesekali berkinjung ke makam istri tercinta untuk melepaskan kerinduan akan kesepian yang menggerogoti kalbu.
Ah, pak tua...mungkin kau tak pernah tahu. Bahwa anak yang paling kau sayang dan kau manja, kelak akan menjadi sumber penyakit dan masalah buatmu.




 

0 comments: